SEWINDU (MEMELIHARA RINDU)

Saya baru tahu…
Selat Gibraltar adalah selat istimewa, pertemuan antara Samudra Atlantik dan Laut Mediteranian, dengan karakter air yang berlainan,yang tidak bisa senyawa. Terpancar dari warna air laut yang beda, biru gelap dan biru terang sehingga membentuk garis lurus yang membentang panjang seakan membelah air laut. `Garis’ tersebut adalah garis pembatas yang memisahkan warna…

Kita pun tahu…
Allah SWT telah menciptakan kita istimewa, perpaduan kasih Samudra Hati, dengan karakter yang lebih beriak, berbuih, berombak dan berwarna, garis jelmaan cahaya polikromatik dari dasar hati kita. `Garis’ tersebut adalah garis penyatu yang memadukan warna kita…

Sejarah mencatat…
Tariq bin Ziyad saat mendarat di Gibraltar dalam penaklukan wilayah Al-Andalus, ia memerintahkan untuk membakar semua kapal dan berbicara di depan anak buahnya untuk membangkitkan semangat mereka: “Tidak ada jalan untuk melarikan diri! Laut di belakang kalian, dan musuh di depan kalian: Demi Allah, tidak ada yang dapat kalian sekarang lakukan kecuali bersungguh-sungguh penuh keikhlasan dan kesabaran.”

Pun demikian dengan sejarah kita..
Dengan penuh keikhlasan menutup masa lalu dan penuh kesabaran menjadikannya pelajaran untuk meniti dan melenggangkan jalan masa depan..

Masih tersimpan…
Kotak musik Komet Goldenberg & Zeitlin yang dibeli Sultan Syarif Hasyim pada tahun1896, sampai sekarang masih bisa mengalunkan lagu Mozart,Strauss,Beethoven, dan Bach…

Senantiasa tersimpan…
Kotak hati yang merangkai akord-akord dalam sebuah harmoni, (tentu saja) dengan variasi nada sisipan, nada pendahulu, nada bantu dan ditutup dengan kadensa sempurna.

Sewindu kita menata langkah-langkah;
Sewindu langkah-langkah membentuk ’kita’
Sewindu kita belajar amba dan titik;
Sewindu amba dan titik membentuk corak ’kita’
Sewindu menyemai asancaya
agar wanginya hingga jumantara..

Semoga Allah SWT melanggengkan pernikahan kita
dalam bingkai sakinah, mawaddah dan rahmah.Amin

(10.04.2004 – 10.04.2012, sewindu usia pernikahan)

By Cahyo

Dipublikasi di catatan perjalanan, Pernikahan | Tag , | Meninggalkan komentar

Doa Ketika Sakit

Hampir semua manusia pernah merasakan sakit. Sakit timbul karena berbagai sebab, termasuk kecerobohan dalam makan dan perilaku hidup tak sehat lainnya. Namun, dari sudut pandang lain, sakit merupakan ujian dalam perjalanan hidup manusia. Ujian sakit bila diterima dengan ikhlas dan sabar akan meningkatkan keimanan, lebih mendekatkan pada Sang Kuasa, dan menghapus kesalahan. Seperti sabda Nabi Saw, ” Tidak satu pun musibah yang menimpa seorang muslim, baik berupa kesusahan, penderitaan, kesedihan, keduakaan, maupun penyakit, bahkan karena sepotong duri yang menancap di tubuhnya, kecuali Allah menghapuskan sebagian kesalahannya” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Ketika diberi ujian sakit, yang harus dilakukan adalah ikhtiar mencari kesembuhan dengan berobat, dan memohon kesembuhan pada Dzat Maha Penyembuh. Sesugguhnya, Penyembuh hakiki adalah Allah SWT. Berdoa memberi kekuatan luar biasa yang menentramkan dan mengantarkan pada kesembuhan. Rasullullah telah mengajarkan apa yang harus dilakukan ketika merasakan sakit. Saat Utsman bin Al-‘Ash mengadukan pada Rasulullah tentang penyakit yang menimpanya, Nabi Saw berkata, “Letakkan tanganmu pada bagian tubuh yang sakit, lalu ucapkan Basmalah sebanyak tiga kali, dan tujuh kali lafal “A’udzu bi”izzatillaahi wa qudrathii min syarri maa ajidu wa uhaadziru“. Atau dengan membaca “Bismillah, a’udzu billaahi wa qudrathii min syarri maa ajidu wa uhaadziru” (Dengan nama Allah, aku berlindung kepada ALlah dan kekuasaan-Nya dari kejahatan apa saja yang aku temui dan aku khawatirkan).

Doa ketika mengunjungi Orang sakit

Salah satu dari hak seorang muslim atas muslim lainnya adalah dijenguk ketika sakit. Kehadiran teman dan saudara ketika sakit dapat menjadi obat bagi si sakit. Lazimnya, ketika menjenguk atau membesuk orang sakit, kita membawa buah tangan berupa makanan. Hal tersebut tentu baik saja. Namun, alangkah lebih baik bila ketika membesuk kita mendoakan si sakit agar diberi keringanan dalam sakitnya dan kesembuhan.  Berikut ini doa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw dalam HR Al-Bukhari ketika menjenguk orang sakit:

Allaahumma rabbannaasi Adzhibil-ba’tsa isyfi wa antasyaafi, laa syifaa’a illaa syifaa’uka, syifaa’an laa yughaadiru saqamaa (Ya Allah Pemelihara manusia, jauhkanlah kesusahan, sembuhkanlah (sakitnya), Engkaulah Penyembuh, Tidak ada kesembuhan kecuali dari-Mu, dengan kesembuhan yang tidak menyisakan derita).

Demikianlah, semoga doa ini menjadi bekal bila kita mendapat ujian sakit, maupun menjadi buah tangan indah ketika kita menjenguk saudara atau teman yang sakit. Semoga bermanfaat.

Dipublikasi di Kumpulan pinta | Tag , | 6 Komentar

Momentum Ramadhan untuk Meningkatkan Keharmonisan Rumah Tangga

(Tulisan ini secara ringkas telah dipublikasi di harian Republika, Selasa 9 Agustus 2011 hal 22 dalam kolom Syiar Ramadhan)

Kehidupan rumah tangga ibarat kapal yang sedang berlayar, ibarat benih yang terus bertumbuh. Kapal yang terus berlayar bisa aus, berlubang, dan mungkin karam bila tak dirawat. Benih unggul pun tak akan tumbuh berkembang menghasilkan bunga yang sedap dipandang bila tak disiram dan dipupuk. Keharmonisan rumah tangga ibarat usaha yang mengalami pasang surut. Kehidupan rumah tangga kadang terasa sangat harmonis pada satu waktu, namun berada pada titik nadir di waktu yang lain. Belum lagi karakteristik kehidupan modern yang membuat kuantitas dan kualitas interaksi antar anggota keluarga menjadi kurang, menjadi sumber menurunnya keharmonisan rumah tangga.

Bulan ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa. Bulan ramadhan adalah bulan tarbiyah, bulan yang mendidik kita menjadi pribadi taqwa. Bulan ramadhan merupakan bulan peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan, termasuk meningkatkan keharmonisan rumah tangga. Kebersamaan dan kehangatan rumah tangga bisa terkikis seiring dengan berjalannya waktu. Ramadhan memberi momentum untuk mengembalikan dan meningkatkan keharmonisan rumah tangga. Berikut ini beberapa momentum ramadhan untuk mengembalikan kehangatan rumah tangga:

Pertama, momentum saling memaafkan. Sebenarnya tidak ada hadits (hadits doa malaikat jibril) yang mengharuskan untuk saling meminta maaf memasuki bulan ramadhan seperti yang sering beredar selama ini. Meminta dan memberi maaf merupakan perbuatan mulia dan lebih dekat kepada taqwa, seperti termaktub dalam QS. Al-Baqarah: 237, “Dan memberi maaf itu lebih dekat kepada takwa”. Perbuatan mulia tersebut alangkah baik bila dilakukan setiap waktu, atau sesegera mungkin, tidak menunggu akan memasuki bulan ramadhan. Namun, adakalanya perbuatan mulia meminta maaf antara suami-istri, orang tua-anak justru terasa berat lantaran ego yang besar. Karena tujuan puasa di bulan ramadhan adalah untuk mencapai derajat taqwa, maka bulan ramadhan memberi momentum saling memaafkan sehingga meminta-memberi maaf menjadi lebih ringan dilakukan.

Kedua, momentum kebersamaan. Bila kita renungkan, kita akan menyimpulkan betapa bulan ramadhan memberikan keteraturan melebihi bulan-bulan lainnya. Jam kantor biasanya lebih pendek ketika bulan ramadhan sehingga suami-istri atau orang tua- anak bisa berkumpul lebih awal. Bila pun pada saat buka puasa (saat makan malam pada bulan di luar ramadhan) keluarga belum bisa berkumpul, masih ada momen sholat tarawih, dan momen sahur yang kemungkinan besar tidak akan terlewatkan. Artinya, bulan ramadhan memberi momentum kebersamaan yang lebih banyak. Momentum kebersamaan ini dapat dimanfaatkan untuk saling berbagi cerita, saling mengingatkan, dan memperbaiki komunikasi, yang mungkin sangat terbatas di luar bulan ramadhan.

Ketiga, momentum menjaga amarah. Pasang-surutnya keharmonisan keluarga banyak bersumber dari nafsu amarah. Kesalahan sepele atau kesalahpahaman kecil antara suami-istri adakalanya memicu amarah. Sikap amarah tersebut menjadi lebih mudah muncul dalam rumah tangga modern karena beban hidup dan beban pekerjaan yang menghimpit. Sikap pemarah menunjukkan kelemahan seseorang, karena Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda: “Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan nafsu amarahnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim). Rumah tangga yang senantiasa diwarnai amarah tentu bukan rumah tangga yang sakinah, karena ketentraman rumah tangga tak bisa seiring sejalan dengan amarah yang sering berkobar. Pada bulan ramadhan, kita sering mendengar selorohan “eh..jangan marah-marah, nanti batal puasanya”. Memang benar, puasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tapi juga menahan segala perbuatan dan perkataan yang bisa mengurangi pahala puasa, termasuk menahan nafsu amarah. Puasa sebulan penuh di bulan ramadhan memberi momentum bagi pasangan suami-istri; orang tua-anak untuk belajar menahan amarah sehingga rumah tangga akan terasa lebih tentram.

Keempat, momentum menjaga lisan. Lisan itu ibarat pedang tajam yang mampu merobek-robek keharmonisan rumah tangga. Banyak rumah tanga yang retak karena lisan yang tak terjaga. Tidak terjaganya lisan bisa berupa ucapan yang menyakitkan dan merendahkan pasangan, maupun membuka rahasia dan aib rumah tangga pada orang-orang yang tidak seharusnya mengetahui. Ibarat telur yang sudah dipecahkan tanpa bisa dimasukkan kembali ke cangkangnya, kata-kata menyakitkan yang telah keluar, tidak dapat ditarik kembali. Perkataan yang baik dan lemah lembut akan menguatkan jalinan kasih sayang diantara suami-istri, sebaliknya perkataan yang menyakitkan dan merendahkan pasangan akan meretakkan hubungan. Ahmad Zarrug seperti dikutip Zabrina A. Bakar (2008:124) pernah berkata: “ Jika kau ingin hidup dengan cara yang membuat agamamu terjaga dan bagianmu terpenuhi dan martabatmu terpelihara, jagalah lidahmu, dan jangan menyebut-nyebut kesalahan orang lain, karena ingat bahwa kau, kau sendiri, punya kesalahan dan orang lain punya lidah”. Kalimat bijak ini mengingatkan kita untuk memikirkan apa yang akan diucapkan hingga yang keluar dari lisan kita hanya perkataan yang baik. Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”. Ramadhan memberi momentum untuk belajar menjaga lisan dari perkataan-perkataan yang menyakitkan, ghibah, dan menggantinya dengan perkataan hikmah, dzikir dan doa. Bila suami-istri memanfaatkan momentum menjaga lisan ini, maka Insya Allah keharmonisan rumah tangga akan terjaga.

Kelima, momentum kejujuran. Kejujuran merupakan pondasi penting dalam kehidupan berumah tangga. Sekalipun kejujuran adakalanya tidak mengenakkan, namun kebohongan pasti menyakitkan. Kejujuran menimbulkan kepercayaan, sebaliknya kebohongan dan dusta meruntuhkan kepercayaan. Keharmonisan hubungan suami-istri akan hilang bila tidak ada lagi kepercayaan diantara keduanya. Rasulullah bersabda: “Hendaklah kalian berlaku jujur karena kejujuran itu menunjukan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukan jalan menuju surga” (HR. Bukhari). Kejujuran mengantarkan pelakunya pada kebaikan, pun kejujuran dalam rumah tangga akan mengantarkan pada keharmonisan. Berbeda dengan ibadah shalat, zakat, dan haji, yang bisa disaksikan orang lain, puasa adalah satu-satunya ibadah yang hanya Allah SWT dan kita yang tahu. Puasa adalah ibadah yang melatih kita berlaku jujur secara hakiki, yakni jujur pada diri sendiri. Kita bisa bersembunyi makan dan minum untuk mengelabui orang lain seolah-olah berpuasa, tapi hal tersebut tidak kita lakukan. Kejujuran adalah salah satu hikmah puasa. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya, maka Allah Ta’ala tidak peduli dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari). Bila momentum kejujuran di bulan ramadhan ini dihidupkan di bulan-bulan lain, maka Insya Allah akan terwujud rumah tangga yang tentram.

Bulan ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa. Bulan ramadhan memberi momentum untuk berlatih menjaga amarah, menjaga lisan, berkata dan berlaku jujur, saling memaafkan, dan meningkatkan kebersamaan. Mari kita manfaatkan momentum tersebut sebaik-baiknya, agar selepas bulan ramadhan, rumah tangga kita akan semakin harmonis. Wallahu a’lam bish-shawab.

Dipublikasi di Pernikahan | Tag , , | Meninggalkan komentar

Catatan Tahun ke 7

Malam ini, 10 April, tujuh tahun yang lalu, suamiku menggenggam erat tangan ayahku untuk mengucapkan ijab kabul. Janji langit telah diikrarkan, janji yang sangat kuat setara dengan janji para nabi pada Tuhan semesta alam, yang disebut dalam kitab-Nya sebagai mitsaaqan ghaliidza. Dan sejak malam itu, kami memulai kehidupan suami-istri, memulai menjalankan kehidupan separuh agama. Kami meniatkan pernikahan ini sebagai ibadah, dan kami ingin menyempurnakannya. Masa perkenalan yang pendek membuat kami belum saling mengenal satu sama lain. Wajar, bila onak dan duri terasa banyak di awal-awal pernikahan kami. Tapi kami tak menyerah, kesulitan dan ketidakcocokan membuat kami belajar. Ya pernikahan adalah tempat belajar. Belajar untuk tidak berkata dan berperilaku yang menyakitkan, apalagi merendahkan pasangan; belajar memaafkan; belajar melihat sisi baik pasangan; belajar menerima kekurangannya; belajar mengalah ketika ego membuncah..

Malam ini, 10 April 2011, di tahun tahun ke 7, kami mulai mengerti bahwa kebahagiaan itu bukan karena pasangan, tapi dari diri sendiri. Bagaimana diri menerima apa adanya pasangan itulah yang menentukan kebahagiaan. Puji syukur, kami telah merasakan kebahagian, & ketenangan dalam pernikahan. Bukan berarti pernikahan kami tanpa ujian, karena ujian justru menguatkan kami. Bukan pula kami pasangan yang sempurna, karena kami tetaplah dua pribadi yang penuh kekurangan. Bagaimanapun, Allah telah menetapkan jalan bagi kami dalam pernikahan ini. Pernikahan ini harus dipertahankan atas dasar keinginan untuk membahagiakan. Saya berlindung pada Allah SWT dari kejahatan syaitan yang meniupkan kejahatan untuk mencabik-cabik pernikahan ini. Sebagai penutup catatan kecil ini, saya mengutip catatan suami saya di facebook yang diposting hari ini:

7 tahun memegang mitsaqan ghalidha;
terkadang kita sepucuk ilalang,tapi apalah arti tamparan angin, karna kita adalah akar…bersulang dengan dendang alam.

7 tahun mewarnai mitsaqan ghalidha;
kau himpun benang-benang hitam, putih, biru, jingga dan ungu hatimu, dan akupun begitu…
Kita padukan dalam selembar selendang untuk menari riang…

7 tahun menerangi mitsaqan ghalidha;
kau bentangkan langit dan kutaruh bintang dan juga bulan dalam hati kita, kita dengarkan cahayanya berpuisi…

Yaa Allah, Engkau tlah tetapkan jalan kami, lapangkanlah jalan kami menuju altar sakinah, singgasana mawadah, dan mahkota rahmah…
Iyyaaka na’budu
wa iyyaaka nasta’in

(10 april 2011, 7 tahun membina janji suci pernikahan)

Dipublikasi di Pernikahan | Tag | Meninggalkan komentar

Doa-doa agar hamil

Tahun ini adalah tahun ke enam pernikahan kami, namun kami masih saja berdua. Pasangan suami-istri mana yang tidak menginginkan dikarunia momongan, buah hati yang akan menguatkan cinta mereka, penerus keturunan. Tapi itulah hidup. Semua mendapat ujian meski berbeda-beda. Kami menganggap itulah ujian Allah SWT untuk pernikahan kami. Cara terbaik untuk menghadapi ujian-Nya adalah bersabar. Kesabaran tanpa batas. Sabar dalam ikhtiar, dan sudah pasti sabar dalam berdoa.

Ada beberapa doa agar dikaruniai momongan. Doa-doa ini saya kutip dari buku “Doa-doa khusus agar dikaruniai momongan” oleh Ustad Mujtahidin.
1. Bismillahirrahmaanirrahiim. Subhanaka Allahumma anta rabbul arsyil adhiimi, asalukal adhiima antahluqa waladan fii bathni, innaka khaaliqu kulli syaiin wa antal waa khidul qahhaar.
(Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Maha suci Engkau ya Allah. Engkau Tuhan Arsyi yang Maha agung untuk menciptakan anak dalam perutku. Sesungguhnya Engkau Maha Pencipta atas segala sesuatu dan Engkau Maha Esa dan Mahagagah). Bila dibaca sang suami, maka kata “bathni” diganti dengan “bathnihaa” (perutnya, sang istri).

2. Rabbi laa tadzarnii fardan wa anta khairurraakhimiin. Huwallahul kholiqul baariul mushowwiru lahul asmaaul husna (Ya Tuhanku, Jangan Engkau tinggalkan aku sendirian. Engkau sebaik-baik pengasih. Dialah Allah yang menciptakan yang mengadakan yang membentuk rupa yang mempunyai nama-nama yang paling baik)

3. Rabbi hablii minladunka dzurriyatan thayyibatan innaka samiiuddu’aa. (Ya Tuhanku, anugerahilah aku dari sisi-Mu keturunan yang baik-baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar terhadap doa)

4. Yakhluqullaahu maa yasyaa’. Innallaaha alaa kulli syai’in qodiir. Allaahu yakhluqu maa yasyaa’. Idzaa qadza amran fa innamaa ya quulu lahu kun fayakuun. (Allah yang menciptakan perkara yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah yang menciptakan perkara yang Dia kehendaki. Apabila Allah menciptakan suatu perkara, maka sesungguhnya (hanya dengan) Dia mengatakan pada perkara tersebut: “Jadilah kamu!” maka jadilah perkara itu.

Demikian doa-doa agar dikaruniai momongan. Doa-doa dibaca setiap usai sholat fardhu, atau dibaca satu kali setelah mandi wajib sehabis berhubungan. Dan jangan lupa, lantunkan doa-doa kita dengan penuh keyakinan bahwa Allah SWT akan mengabulkan doa-doa kita. Semoga bermanfaat.

Dipublikasi di Kumpulan pinta | Tag | Meninggalkan komentar

Pernikahan ini menguatkan cinta kami

Cinta datang bukan karena menemukan orang yang sempurna, tetapi karena belajar melihat seorang yang tidak sempurna secara sempurna“. (Jason Jordan seperti dikutip Zabrina A. Bakar).

Pada awalnya, saya memulai hubungan dengan kebimbangan. Kecenderungan (baca: benih-benih cinta) pada pasangan sudah ada, tapi hilang-timbul lantaran sesuatu hal yang dipandang sebagai kekurangan. Doa dalam sujud-sujud panjang saya lantunkan, memohon petunjuk-Nya untuk keputusan penting yang akan menentukan kebahagian dunia-akhirat. Sujud-sujud itu mengantarkan saya pada keputusan untuk menerimanya. Putusan saya sampaikan, dan waktu lamaran ditentukan, namun tak berarti kebimbangan sirna. Syaitan begitu kuat membisik-bisikkan keraguan dalam hati. Keraguan terhadap ketidaksempurnaan. Wuih .. keterlaluan ya, padahal mana ada manusia yang sempurna?. Bahkan, jikalau ada lelaki sempurna yang sesuai keinginan dan kriteria saya, apakah dia pasti yang terbaik untuk saya?.

Saatnya tiba, 10 April 2004. Ikrar ijab kabul dilantunkan, dan kami resmi menjadi pasangan suami istri. Masih ada sisa kebimbangan, namun niat untuk menegakkan janji langit, menguatkan saya untuk memulai kehidupan bersamanya. Saya mulai hari-hari dengan melihat kebaikan-kebaikannya, dan mengesampingkan kekurangannya, begitu juga suami saya. Hari demi hari saya lalui, tidak selalu mulus memang, namun keraguan mulai terjawab. Saya merindukannya dikala ia tiada di sisi, saya membutuhkannnya untuk berbagi cerita, suka, dan duka. Ternyata, saya mulai merasakan cinta yang sesungguhnya. Dia, suami saya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, adalah lelaki terbaik yang Allah SWT pilihkan untuk menemani saya. Sungguh, pernikahan ini menguatkan cinta kami.

Adakah yang memiliki perjalanan cinta seperti saya?. Cinta barangkali modal penting untuk memulai sebuah hubungan, apalagi jenjang pernikahan. Tapi nyatanya, kesediaan menerima pasangan apa adanya, menurut saya, jauh lebih penting. Bahkan cinta yang menggebu-gebu di awal pernikahan akan berangsur-angsur hilang bila tidak ada kesediaan untuk menerima ketidaksempurnaan pasangan. Pernikahan jelas berbeda dengan fase penjajagan (pacaran). Pada fase pacaran,  tidak ada “keharusan” untuk menerima kekurangan pasangan, karena mudah untuk menjatuhkan pilihan menghentikan hubungan. Pada jenjang pernikahan, menghentikan hubungan (perceraian) bukan pilihan. Satu-satunya pilihan adalah upaya menerima ketidaksempurnaan pasangan secara sempurna. Belajar menerima ketidaksempuranaan secara sempurna berarti menerima ketidaksempurnaan pasangan tanpa syarat. Pernikahan bukan tempat pembuktian siapa yang lebih hebat, tidak ada menang-kalah. Pun ketika senyatanya salah satu memang lebih hebat dari yang lain, tidak ada alasan untuk membuat pasangan nampak terpuruk. Karena bila itu dilakukan, maka hakikat pernikahan telah hilang. Mari kita terus belajar untuk menerima ketidaksempurnaan pasangan secara sempurna, dan kita akan merasakan bagaimana pernikahan akan menguatkan cinta.

Dipublikasi di Pernikahan | Tag , | Meninggalkan komentar

Bersyukur & Bersabar: Kunci kebahagiaan

Kebahagian itu diciptakan oleh diri sendiri, bukan oleh orang lain atau keadaan. Sebenarnya bukan orang lain atau keadaan yang membuat kita bahagia  tapi diri kita sendirilah yang bisa menciptakan kebahagiaan. Coba kita renungkan, di sekeliling kita banyak orang yang kita pandang bahagia karena memiliki harta yang berlimpah, namun ternyata yang bersangkutan justru merasa tidak bahagia. Sebaliknya, banyak orang yang nampaknya dilanda penderitaan namun kenyataannya mereka merasa bahagia.

Setiap keluarga memiliki masalah dan ujian. Ujian berupa kesenangan maupun kesulitan. Seringkali orang berpikir bahwa ujian hanyalah berupa penderitaan, padahal banyak keluarga yang justru tidak dapat bertahan ketika diuji dengan berbagai kenikmatan. Mungkin kita pernah membaca kisah keluarga yang bisa bertahan ketika dalam kesempitan, namun sebaliknya justru berantakan ketika mereka dalam kondisi di puncak kesenangan. Kunci menciptakan kebahagiaan adalah bersyukur dan bersabar.

Bila keluarga dalam kondisi limpahan nikmat, maka ajak seluruh anggota keluarga untuk bersyukur. Bersyukur meliputi ucapan dan perbuatan. Ucapkan syukur pada Dia yang telah melimpahkan nikmat. Ucapkan terima kasih pada manusia-manusia yang telah menghantarkan kita pada nikmat tersebut, seberapapun kecilnya nikmat atau kebaikan yang mereka berikan. Tarmidzi meriwayatkan bahwa “Siapa yang tidak pandai bersyukur (berterimakasih) kepada manusia, berarti ia belum bersyukur kepada Allah SWT”.  Bersyukur juga ditunjukkan dalam perbuatan yang disukai oleh sang pemberi nikmat. Bohong bila kita mengaku bersyukur, tapi menggunakan nikmat untuk hal-hal yang dimurkai oleh pemberi nikmat.

Bila keluarga sedang diuji oleh ketidaksenangan, maka bersabarlah. Bersabar adalah menerima ketidaksenangan dengan penuh kesadaran bahwa itulah yang terbaik baginya. Tapi sabar tidak cukup dengan “nrimo” (menerima). Sabar juga memiliki makna tidak putus asa, bangkit dari keterpurukan, dan berusaha ke arah yang lebih baik. Ada ikhtiar di balik kesabaran. Bila ujian berupa sakit, maka sabar akan diikuti dengan ikhtiar mencari kesembuhan. Bila ujian berupa kesempitan materi, maka sabar mesti diikuti ikhtiar bekerja. Bila ujian berupa belum mendapat pekerjaan, maka sabar adalah terus berupaya mencari atau menciptakan pekerjaan.

Demikianlah, bersyukur dan bersabar adalah kunci menciptakan kebahagian. Semua perkara, baik kenikmatan maupun kesengsaraan, bisa membuat orang yang pandai bersyukur dan bersabar merasakan kebahagian. Siapa yang ingin bahagia? Mari, kita belajar bersyukur dan bersabar.

Dipublikasi di Nilai-nilai kehidupan | Tag , , | Meninggalkan komentar

Keluarga Bahagia Sejahtera

Sleman, 22 September 2010

Setiap keluarga pasti ingin bahagia dan sejahtera. Setiap keluarga memiliki definisi dan impian tersendiri tentang  bahagia dan sejahtera. Setiap keluarga pun memiliki cara yang berbeda untuk mewujudkan visi “menjadi bahagia dan sejahtera”. Meski setiap keluarga memiliki definisi, visi, dan cara yang berbeda untuk menjadi bahagia dan sejahtera, tapi satu hal pasti disepakati oleh semua keluarga adalah bahwa kebahagian dan kesejahteraan keluarga harus dibangun dan ditumbuh-kembangkan, tidak dapat tercipta begitu saja.

Ada tiga pilar yang menurut saya perlu dikembangkan dalam membangun keluarga bahagia sejahtera:

Pertama, menyamakan visi dalam membangun keluarga bahagia sejahtera. Perlu kesepakatan mengenai visi bahagia dan sejahtera dalam keluarga. Perlu dikomunikasikan bahagia sejahtera macam apa yang ingin diwujudkan dalam keluarga. Tentu tidak melulu terkait dengan materi. Visi membangun keluarga biasanya dituntun oleh keyakinan dan nilai-nilai kehidupan yang dianut.  Visi yang disepakati akan mengarahkan perilaku anggota keluarga dalam merealisasikan visi. Sebagai contoh, bila sebuah keluarga memiliki visi “menciptakan keluarga yang saling menyayangi atas dasar ketaqwaan, berkecukupan, dan mampu berbagi”, maka tindakan akan diarahkan untuk merealisasikannya. Tindakan yang mengarah pada pencapaian visi tersebut, misalnya kesepakatan untuk sholat berjamaah pada waktu tertentu (bagi yang muslim), bicara dengan santun, suami giat bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, istri pandai berhemat dan berprioritas agar kebutuhan keluarga tercukupi, mengalokasi sebagian dana untuk berbagi dengan sesama, dan sebagainya.

Kedua, mendefinisi dan menjalankan peran (hak dan kewajiban) masing-masing anggota keluarga secara konsisten. Keluarga merupakan organisasi mini, yang terdiri dari kumpulan beberapa orang, memiliki tujuan, dan masing-masing orang didalamnya memiliki peran yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan. Layaknya organisasi, keluarga perlu dimanage sedemikian rupa agar tujuan atau visi bisa terealisasi. Begitu menikah, alangkah baik bila suami-istri segera mengkomunikasikan peran (hak dan kewajiban, koridor yang boleh dan tidak) masing-masing, agar organisasi mini (keluarga) bisa berjalan dengan baik. Bagaimana peran suami dan istri bila suami  sebagai pencari nafkah sementara istri tidak berkarir, mungkin tidak sama bila suami istri sama-sama berkarir. Tentu tidak ada istilah menang-kalah, banyak-sedikit, dalam mendifinisi peran. Peran yang telah disepakati harus dijalankan masing-masing pihak secara konsisten, meskipun diperlukan fleksibilitas pada kondisi tertentu. Intinya, suami-istri atau ayah-ibu-anak menjalankan peran masing-masing, namun tetap saling membantu dan melengkapi dalam menjalankan peran.

Ketiga, melakukan komunikasi dan evaluasi/introspeksi secara terus menerus. Setelah visi dan tujuan ditetapkan, peran masing-masing anggota keluarga dijalankan, maka pilar ketiga adalah kesinambungan komunikasi dan evaluasi dalam dan antar anggota keluarga. Komunikasi dan evaluasi bermanfaat untuk memastikan apakah peran telah dilaksanakan dengan baik, dan perilaku telah diarahkan untuk mencapai tujuan. Perselisihan dalam keluarga biasanya terjadi karena ketidaksesuaian peran atau perilaku yang tidak mengarah pada tujuan. Setiap anggota keluarga perlu introspeksi dan mengkomunikasikan ketidaksesuaian peran atau perilaku yang menyimpang dari tujuan agar masalah tidak terlanjur menjadi besar.

Demikian, tiga pilar yang perlu dikembangkan dalam membangun keluarga bahagia sejahtera. Mungkin saudara punya pilar-pilar lain yang bisa melengkapi. Yang penting, apapun pilar itu, perlu action untuk mewujudkannya. Semoga bermanfaat.

Dipublikasi di Uncategorized | Tag , , | 2 Komentar