Pernikahan ini menguatkan cinta kami

Cinta datang bukan karena menemukan orang yang sempurna, tetapi karena belajar melihat seorang yang tidak sempurna secara sempurna“. (Jason Jordan seperti dikutip Zabrina A. Bakar).

Pada awalnya, saya memulai hubungan dengan kebimbangan. Kecenderungan (baca: benih-benih cinta) pada pasangan sudah ada, tapi hilang-timbul lantaran sesuatu hal yang dipandang sebagai kekurangan. Doa dalam sujud-sujud panjang saya lantunkan, memohon petunjuk-Nya untuk keputusan penting yang akan menentukan kebahagian dunia-akhirat. Sujud-sujud itu mengantarkan saya pada keputusan untuk menerimanya. Putusan saya sampaikan, dan waktu lamaran ditentukan, namun tak berarti kebimbangan sirna. Syaitan begitu kuat membisik-bisikkan keraguan dalam hati. Keraguan terhadap ketidaksempurnaan. Wuih .. keterlaluan ya, padahal mana ada manusia yang sempurna?. Bahkan, jikalau ada lelaki sempurna yang sesuai keinginan dan kriteria saya, apakah dia pasti yang terbaik untuk saya?.

Saatnya tiba, 10 April 2004. Ikrar ijab kabul dilantunkan, dan kami resmi menjadi pasangan suami istri. Masih ada sisa kebimbangan, namun niat untuk menegakkan janji langit, menguatkan saya untuk memulai kehidupan bersamanya. Saya mulai hari-hari dengan melihat kebaikan-kebaikannya, dan mengesampingkan kekurangannya, begitu juga suami saya. Hari demi hari saya lalui, tidak selalu mulus memang, namun keraguan mulai terjawab. Saya merindukannya dikala ia tiada di sisi, saya membutuhkannnya untuk berbagi cerita, suka, dan duka. Ternyata, saya mulai merasakan cinta yang sesungguhnya. Dia, suami saya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, adalah lelaki terbaik yang Allah SWT pilihkan untuk menemani saya. Sungguh, pernikahan ini menguatkan cinta kami.

Adakah yang memiliki perjalanan cinta seperti saya?. Cinta barangkali modal penting untuk memulai sebuah hubungan, apalagi jenjang pernikahan. Tapi nyatanya, kesediaan menerima pasangan apa adanya, menurut saya, jauh lebih penting. Bahkan cinta yang menggebu-gebu di awal pernikahan akan berangsur-angsur hilang bila tidak ada kesediaan untuk menerima ketidaksempurnaan pasangan. Pernikahan jelas berbeda dengan fase penjajagan (pacaran). Pada fase pacaran,  tidak ada “keharusan” untuk menerima kekurangan pasangan, karena mudah untuk menjatuhkan pilihan menghentikan hubungan. Pada jenjang pernikahan, menghentikan hubungan (perceraian) bukan pilihan. Satu-satunya pilihan adalah upaya menerima ketidaksempurnaan pasangan secara sempurna. Belajar menerima ketidaksempuranaan secara sempurna berarti menerima ketidaksempurnaan pasangan tanpa syarat. Pernikahan bukan tempat pembuktian siapa yang lebih hebat, tidak ada menang-kalah. Pun ketika senyatanya salah satu memang lebih hebat dari yang lain, tidak ada alasan untuk membuat pasangan nampak terpuruk. Karena bila itu dilakukan, maka hakikat pernikahan telah hilang. Mari kita terus belajar untuk menerima ketidaksempurnaan pasangan secara sempurna, dan kita akan merasakan bagaimana pernikahan akan menguatkan cinta.

Pos ini dipublikasikan di Pernikahan dan tag , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar